Wanted . . . .

Total Tayangan Halaman

Minggu, 13 Mei 2012

Membela FPI



Oleh, Mohammad Fadhilah Zein (Pengamat Media)

Front Pembela Islam (FPI) saat ini bukan lagi sekedar organisasi masyarakat yang dipimpin oleh Habib Muhammad Rizieq Husein Syihab. Dia sudah menjadi simbol perlawanan terhadap berbagai ancaman terhadap Islam. Ketika kekuatan liberal sudah begitu menghegemoni kehidupan masyarakat, maka FPI hadir tidak lagi sebagai organisasi, tapi dia berubah menjadi sebuah identitas perlawanan.

Bentrokan antara massa FPI dengan kelompok-kelompok liberal juga menunjukkan kegundahan umat Islam atas ide-ide liberalisme. Aksi Indonesia tanpa JIL yang diikuti ribuan orang, dan didukung jutaan netter, menjadi bukti bahwa perlawanan itu tidak hanya didominasi FPI, tapi mayoritas umat Islam. Kekuatan modal di balik liberalisme yang menjadikan perlawanan ini tidak imbang. Tidak heran jika kemudian perlawanan FPI adalah perlawanan jalanan. Meski ada juga kelompok muslim lain yang berusaha mengambil jalur berbeda untuk mengimbangi kekuatan-kekuatan proliberal ini.

Munculnya gerakan FPI ini memiliki korelasi dengan tingkat grienvence atau keluhan yang tinggi akan derasnya pengaruh negatif globalisasi. Tidak hanya ide-ide liberal yang merusak sendi-sendi dasar Islam, tapi juga pengaruh negatif budaya, ekonomi, sosial, politik yang ditawarkan sistem demokrasi liberal. Begitu kuatnya gelombang informasi melalui media-media juga menambah kesumpekan kehidupan masyarakat muslim di Indonesia.

Budaya populer yang hedonistik dan konsumtif merajalela di setiap perilaku orang-orang Indonesia. Ditambah perilaku media massa yang ikut menampilkan sosok-sosok panutan yang mewakili gaya hidup hedonis dan konsumtif. Atas nama keuntungan materi, konser-konser musik yang menghabiskan miliaran rupiah pun digelar. Ini adalah cara efektif mengubah perilaku masyarakat dengan pemberian label moderen. Pendefinisian moderen pun menjadi tidak jelas. Moderen diartikan sebagai jika tidak mengikuti gaya rambut artis anu, maka tidak moderen. Jika tidak mengikuti gaya baju penyanyi anu, maka tidak moderen.
Selain itu, pornografi dan minuman keras yang semakin mudah didapat dan kian merusak alam pikir generasi muda, juga bagian dari efek negatif globalisasi. Sialnya, para wakil rakyat di Parlemen justru mengumbar aksi pornografi di tengah-tengah masyarakat. Video-video porno orang-orang terhormat itu juga tidak lepas dari perilaku politik Machiavelisme. Sangat mudah diterka jika penyebaran video cabul tersebut tidak lepas dari intrik politik untuk menjatuhkan seseorang.

Benturan budaya dan perilaku sosial ini yang menjadi pemicu aksi-aksi jalanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok umat Islam. Sementara negara merasa tidak perlu mengatasi masalah ini, karena berangkat dari filsafat liberalisme yang individualistik. Filsafat liberalisme mengajarkan bahwa individu manusia adalah bebas maka tidak perlu ada campur tangan negara. Makna bebas pun ditafsirkan secara serampangan, dan bertabrakan dengan hakikat yang menyatakan bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Indonesia sebagai negara berdaulat memang tidak bisa menutup diri dari pergaulan dunia. Namun, di negara ini pula ada nilai-nilai yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Serangan terhadap nilai-nilai tersebut begitu bombastis sehingga umat terbesar di dunia ini berada di pinggiran, tidak menjadi arus utama (mainstream). Sekelompok umat Islam (baca: FPI) pun berinisiatif untuk bangkit dan melawan, meski cara yang mereka lakukan hanya berdemo, menggerebek dan sejenisnya.

Dari segi politik dan hukum, negara lebih disibukkan dengan kasus-kasus korupsi yang dilakukan para penyelenggaranya. Sementara, masyarakat hanya bisa terhenyak menyaksikan perilaku mereka melalui media-media massa. Dengan kehidupan politik negara yang demikian, tidak bisa disangkal jika kemudian munculnya gerakan FPI ini menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi aspirasi mereka. FPI pun kemudian mempergunakan struktur kesempatan politik yang terbuka.

FPI Sebagai Gerakan Sosial
Jatuhnya rezim Soeharto membuka struktur kesempatan politik yang dulunya ditutup dengan kuat melalui tangan besi. Sejak awal reformasi, kita menyaksikan gerakan masyarakat di Indonesia terjadi begitu mudah. Pemicunya begitu beragam, namun bisa disimpulkan inti dari gerakan massa adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap sesuatu. Masyarakat kemudian membentuk organisasi massa, LSM atau lembaga non pemerintah, untuk mewujudkan ide-ide mereka. Bahkan, negara melindungi kehadiran organisasi-organisasi massa tersebut sebagai bentuk dari kebebasan berserikat.

Teori kesempatan politik terbuka ini membutuhkan banyak faktor, selain tentunya dukungan dari pemerintah. Faktor tersebut adalah mobilisasi struktur. Teori mobilisasi struktur ini menjelaskan bahwa gerakan sosial membutuhkan lembaga atau organisasi yang dapat dimobilisasi. Teori ini menekankan jika aktor mampu memobilisasi struktur organisasi maka gerakan sosial akan dianggap sukses.

FPI adalah salah satu organisasi yang lahir dari embrio perjuangan umat Islam melawan tirani Orde Baru. Pada awal kelahirannya, sejumlah tokoh-tokoh Islam berpandangan pentingnya organisasi pelopor yang mampu mendobrak sekaligus memimpin perlawanan. Sebagai organisasi gerakan, FPI menjadi wahana untuk mewujudkan cita-cita sosial yang diinginkan. Melalui organisasi gerakan pula, kelompok ini hadir membela suara-suara Islam yang terpinggirkan.

Organisasi gerakan adalah salah satu upaya untuk menjawab kelompok-kelompok Islam yang tertindas di tengah jumlah mereka yang mayoritas. Bahkan, kelompok-kelompok minoritas mampu menguasai kelompok mayoritas karena adanya kekuatan-kekuatan modal. Istilah tirani minoritas menjadi adagium yang pas untuk menggambarkan kondisi sosial di Indonesia saat ini.

Kehadiran negara pun nihil ketika berhadapan dengan kepentingan dan suara-suara umat Islam. Tidak berlebihan jika mengatakan umat Islam tertindas, sementara negara berupaya meninabobokan mereka melalui pemikiran-pemikiran berbeda berbalut kajian limiah. Salah satu contohnya adalah dengan gencarnya pembuatan kurikulum pendidikan yang dirasuki pemikiran sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Kondisi demikian tentunya menambah parah hubungan sosial muslim dengam muslim atau muslim dengan negara.
Inilah sebenarnya mengapa begitu sulitnya melawan kelompok-kelompok liberal karena mereka sudah masuk dalam level penyelenggara negara. Tentunya hal ini seiring berjalan dengan kuatnya dominasi barat atas Islam di berbagai belahan bumi ini. Jika umat Islam Indonesia melakukan perlawanan, bukan tidak mungkin labelisasi negatif disematkan kepada mereka. Istilah “merusak keutuhan NKRI”, “mengubah UUD menjadi Syariah” bahkan “Teroris”, menjadi senjata yang ampuh untuk memberangus gerakan-gerakan sosial yang membela kepentingan umat Islam.

Secara teoritis, gerakan sosial dianggap sukses jika para pelopornya mampu menekankan pentingnya innovatice collective action. Inovasi aksi kolektif adalah pilihan-pilihan strategi aksi dalam mencapai tujuan gerakan sosial. Ada dua strategi besar dalam inovasi ini, yakni pertama, apakah agent atau aktor akan mempergunakan cara-cara kekerasan atau yang kedua aktor-aktor gerakan sosial mempergunakan di luar cara-cara kekerasan.

Jika melihat track record FPI, maka cara pertama ditempuh oleh para aktor gerakan ini. Namun, bukan berarti FPI harus kehilangan cara-cara inovatif untuk mewujudkan gagasan mereka. Bisa saja, para aktor gerakan sosial di FPI mengkombinasikan cara-cara keras dengan cara-cara diplomasi. Selain ada yang turun ke jalan, maka harus ada aktor-aktor elit di organisasi ini yang bermain di luar jalanan. Kemampuan lobi, pencitraan dan memperluas jaringan adalah syarat untuk mewujudkan aksi kolektif inovatif tadi.
Jika di awal tulisan ini menyebutkan FPI sebagai simbol perlawanan, maka hal itu tidak berlebihan. Di tengah hujatan, cacian dan pencitraan negatif terhadap FPI, namun upaya-upaya itu tidak mampu menghentikan gerakan ini. Masyarakat pun semakin cerdas membaca perkembangan yang berkaitan dengan FPI. Mereka tidak buta dan tuli, mereka melihat misi apa yang sebenarnya dibawa olehnya. Ketika negara tidak mampu mengatasi secara tegas akan peredaran miras, prostitusi, perjudian dan narkoba, maka FPI hadir sebagai bentuk perlawanan. Lebih dari itu, FPI juga menjadi bentuk perlawanan baru terhadap gelombang sosial, budaya, pemikiran dan ide liberal yang bisa merusak eksistensi Islam di negara yang katanya dihuni oleh mayoritas muslim.

ERAMUSLIM > ANALISA
http://www.eramuslim.com/berita/analisa/membela-fpi.htm
Publikasi: Selasa, 08/05/2012 07:53 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar