Wanted . . . .

Total Tayangan Halaman

Minggu, 13 Mei 2012

Pak Bud, Hanya Setan yang Takut Adzan!



Wakil Presiden Boediono meminta agar suara adzan diatur. Kecaman datang dari berbagai kalangan. Boediono memang masih harus belajar Islam.

Tepat pukul 17.48 WIB suara adzan berkumandang dari Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Suaranya mengalun merdu. Enak sekali di dengar. Kumandang adzan dari masjid ini bisa didengar sampai Jalan Teuku Umar, Menteng, sekitar 500 meter dari Sunda Kelapa. Ke arah Sudirman, adzan bisa didengar sampai Tosari. Maklum, menara pengeras suara di masjid ini cukup tinggi, sekitar 30 meter.

Rumah dinas Wakil Presiden Boediono berada tidak jauh dari Masjid Sunda Kelapa. Jika berjalan kaki, mungkin hanya butuh waktu kurang dari dua menit. Dari pagar luar rumah dinas ke pagar masjid, jaraknya hanya sekitar 50 meter saja.

Saat Suara Islam melintas depan rumah Wapres, nampak rumah besar itu sepi. Di pos jaga kanan dan depan ruma, masing-masing berdiri satu tentara lengkap dengan senjatanya. Yang lain berada di pos yang lebih besar di pintu gerbang. Motor-motor besar milik pengawal diparkir di pojok Jalan Mangunsarkoro. Sementara sejumlah mobil Paspampres diparkir rapi di pojok parkir Masjid Sunda Kelapa, dekat para pedagang makanan.

Sekitar lima menit setelah adzan maghrib selesai, muadzin mengumandangkan iqamat. Tanpa melalui pengheras suara. Shalat magrib pun segera dimulai. Jamaah berdiri rapi, tiga shaf. Jumlahnya sekitar 100 orang, ditambah jamaah ibu-ibu. Apakah dalam barisan shaf itu ada Wapres Boediono?.

“Pak Boediono jarang sekali mas ke sini. Dulu pernah sekali saja dikawal. Kalau Pak JK (Jusuf Kalla, yang juga pernah menempati rumah dinas Wapres, red) dulu sering shalat magrib di sini. Terutama kalau Sabtu dan Minggu”, kata salah seorang marbot Masjid Sunda Kelapa saat berbincang dengan Suara Islam, Ahad (29/4/2012).

Terganggu Suara Adzan

Dua hari sebelumnya, di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Boediono ‘curhat’. Ia mengaku merasa terganggu dengan suara adzan yang terlalu keras dan menyentak. “Apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu bahwa suara adzan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita” curhat Boediono di hadapan peserta Muktamar Dewan Masjid Indonesia (DMI) Ke-VI, Jumat (29/4/2012).

Boediono beralasan Al-Qur’an mengajarkan untuk merendahkan suara sambil merendahkan hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjukNya. Karena itu adzan juga tidak perlu keras-keras suaranya, cukup sayup-sayup. Begitulah kira-kira.

Boediono lantas meminta pengurus DMI agar membahas tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. “Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya,  tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid”, kata Boediono dengan nada sok santun dan simpatik.

Apakah usulan Boediono itu lantaran dia terganggu suara adzan di Masjid Sunda Kelapa dekat rumahnya?. Wallahu a’lam. Nyatanya, suara adzan yang merdu dan keras saja tidak mampu membuat Boediono bergegas mendatangi Masjid, apalagi sayup-sayup. 

Boediono Harus Ngaji

Pernyataan nyleneh Boediono di Asrama Haji Pondok Gede langsung menyulut komentar banyak kalangan, baik politisi maupun tokoh ormas Islam. Nyaris semua tokoh mengecam Boediono, yang konon berasal dari kalangan Kejawen (abangan) itu.

"Kalau dalam Islam, adzan itu panggilan shalat ya sekeras-kerasnya, semakin keras semakin banyak yang mendengar lebih baik," ujar politisi Partai Demokrat Mahrus Munir. "Kalau konteksnya Pak Wapres itu adzan tidak boleh keras, itu juga tidak benar," jelas anggota Fraksi PD ini.

"Adzan disyariatkannya nyaring, makanya dipilih yang suaranya nyaring. Jadi bukan nyaring tapi cempreng," kata Surahman Hidayat, Ketua Dewan Syariah Pusat (DSP) Partai Keadilan Sejahtera menambahkan.

Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), M Arwani Thomafi, juga turut angkat bicara. "Apakah suara adzan itu mengganggu? Perlu diketahui bahwa lantunan adzan juga mencerminkan ekspresi keberagamaan seseorang. Apakah kemudian ekspresi keberagamaan lainnya juga diatur?" tanya Arwani.

Arwani meminta Boediono segera mengklarifikasi ucapannya, sebab dikhwatirkan melukai hati umat Islam Indonesia. "Persoalan bangsa ini masih banyak yang memerlukan perhatian pemerintah. Wapres harus mengklarifikasi pernyataannya, karena bisa melukai hati umat Islam Indonesia," kata Arwani.

Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Ali Mochtar Ngabalin, malah menyindir Boedino. Kata politisi Golkar itu, jika orang memiliki agama dan iman, mendengar suara adzan yang sangat keras sekalipun ia akan senang. "Pak Boediono, kalau orang ada agama dan ada iman, masjid dengan pengeras suara yang lebih keras sekalipun, dia akan senang," ujar Ngabalin di Asrama Haji Pondok Gede, sesaat setelah Boediono meninggalkan muktamar.

Ngabalin menilai mantan Gubernur Bank Indonesia diduga terlibat dalam Skandal Century itu telah mendapat masukan yang keliru dalam membuat pidato sambutan. Menurut dia, persoalan penggunaan pengeras suara masjid tidak pantas dipermasalahkan.

Kalangan ormas dan tokoh Islam tak ketinggalan angkat bicara. Ketua DPD Front Pembela Islam (FPI) Jakarta Habib Salim Al-Attas menyarankan agar Boediono ngaji lagi. “Mengapa seorang wapres mempermasalahkan adzan. Seharusnya Boediono ngurusi koruptor. Ambil hartanya dan gantung di Monas para koruptor. Saya khawatir azab akan segera turun karena adzan sebagai panggilan Allah telah dihina. Sebagai Wapres, Boediono ngomongnya seperti itu. Suruh ngaji lagi,” kata Habib Selon, panggilan akrab Ketua FPI Jakarta ini.

Menurut Habib Selon, adzan adalah untuk mengingatkan agar umat Islam menyegerakan shalat. “Dengan adzan orang akan terbangun. Malah seharusnya suara adzan lebih kenceng lagi, biar umat Islam dengar untuk menjalankan panggilan Allah,” tegasnya.

Sementara Ketua PWNU Jawa Timur KH Mutawakil Alallah menilai ucapan Boediono bisa memancing konflik SARA.  "Ungkapan Wapres memancing timbulnya konflik horizontal berbau SARA," kata Kiyai Mutawakkil.

Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo itu, pernyataan Boediono soal adzan itu membuktikan dia sebagai sosok yang tidak Pancasilais. Pasalnya, lanjut dia, sila pertama dalam Pancasila adalah 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Pasal itu tentang ibadah dan beragama.

Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat juga turut bereaksi. Menurut Wakil Sekjen MUI Pusat, KH Tengku Zulkarnaen, ucapan Boediono itu hanya wacana pribadinya yang bertentangan dengan syariat Islam. "Adzan sayup-sayup itu hanya wacana wapres saja dan tidak sesuai dengan syariat Islam," jelas Kiyai Tengku.

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat Prof Dr H Muhammad Baharun mengatakan  wacana yang dilontarkan oleh Boediono itu tidak bisa diterapkan di Indonesia. "Tidak bisa. Karena tradisi umat Islam adzan itu adalah syiar dan harus dilantunkan dengan syahdu dan keras. Sehingga menggunakan pengeras suara untuk adzan memang layak dilakukan. Adzan memang harus begitu,"  kata Baharun.    

Sedangkan Sekjen Forum Umat Islam (FUI) KH Muhammad Al-Khaththath berkomentar singkat. “Kata Nabi, yang takut adzan itu cuma setan”. Dalam salah satu hadits riwayat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw memang pernah bersabda, “Sesungguhnya setan, apabila mendengar adzan untuk shalat, ia berlari sambil terkentut-kentut sampai tidak mendengarnya lagi. Ketika adzan telah berhenti, ia kembali menghasut. Apabila mendengar iqamat, ia pergi sampai tidak mendengarnya. Ketika iqamat telah berhenti, ia kembali menghasut (membuat was-was) lagi”.    

Boediono juga dinilai tidak tahu diri. Sebab adzan telah lama berkumandang di negeri ini, jauh sebelum negara ini berdiri. Bahkan ribuan tahun sebelum Boediono lahir di Blitar, adzan telah sahut menyahut di antara puluhan ribu masjid dan mushola di pelosok Nusantara.

(shodiq ramadhan)



Aturan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola


Berikut aturan dari Dirjen Bimas Islam nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Keputusan itu ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam saat itu, Kafrawi, pada tanggal 17 Juli 1978.

1.    Perawatan penggunaan pengeras suara dilakukan oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.
2.    Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar, selain juga menjengkelkan.
3.    Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri karena tidak mentaati ajaran agamanya.
4.    Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5.    Dari tuntunan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar