Wanted . . . .

Total Tayangan Halaman

Selasa, 10 Juli 2012

Jam Hijrah dan Upaya Menyatukan Ummat
















Selasa, 10 Juli 2012

KETIKA menjelang bulan suci Ramadhan, Iedul Fitri maupun Iedul Adha, ummat Islam di seluruh dunia  biasanya mulai sibuk menghitung kapan sesungguhnya dimulainya tanggal  1 Ramadhan dan tanggal 1 Syawal maupun kapan tepatnya tanggal 1 Dhulhijjah. Karena selama ini kita menggunakan sistem penanggalan konvensional (Masehi), jadi kita baru ingat dan peduli ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, karena perhitungan bulan-bulan Islam  itu tidak diatur oleh sistem penanggalan konvensional.

Mengingat  penanggalan bulan Islam ditentukan oleh peredaran bulan (sistem Qomariah) dan bukan peredaran matahari (sistem Syamsyiah).

Karena ummat Islam belum memiliki standar perhitungan penanggalan yang sama, sampai hari ini ummat Islam di seluruh dunia sulit disamakan persepsinya mengenai kesamaan penentuan kapan mulai berlakunya bulan suci Ramadhan, Idul Fitri dsb.

Jangankan untuk yang dengan ukuran dunia (Negara lain), untuk dalam negeri  Indonesia sendiri  kita belum pernah kompak menggunakan metode yang disepakati bersama sehingga dapat terwujud kesatuan pendapat perhitungan penanggalan Islam.

Muhammadiyah, misalnya, cenderung menggunakan metode Hisab. Sedang NU, Al-Irsyad Al-Islamiyah maupun Pemerintah RI menggunakan metode hisab dan ru’yah sekaligus.
Jadi bisa diduga, kadang kita bisa kompak ketika memutuskan awal  Ramadhan, kadang juga tidak. Kadang  Ramadhan kompak, tapi giliran menentukan kapan hari Idul Fitri, bisa tidak kompak lagi, sebagian masih menjalankan ibadah suci Ramadhan, tapi sebagian lainnya sudah berlebaran.

Ini adalah pemandangan yang bertahun-tahun kita alami.   Bahkan pernah terjadi di Saudi Arabia Idul Fitri jatuh hari rabu, namun  di Indonesia  Idul Fitri oleh Pemerintah RI dinyatakan  jatuh pada  hari Jum’at, walaupun begitu,  beberapa ormas Islam tidak mau mematuhi intruksi pemerintah dan   Idul Fitri jatuh pada hari Kamis. Bahkan ada yang mengikuti Saudi hari Rabu. Namun Pemerintah RI yang saat itu Menteri Agamanya Munawir Sjadzali, tetap kekeh (ngotot, red) Idul Fitri jatuh di  hari Jum’at.

Mengapa  sudah berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun, ummat Islam masih kesulitan menentukan kapan sesungguhnya penanggalan Islam (Qomariah) ditentukan/dimulai?
Jawabannya, karena hingga di abad 15 H ini, ummat Islam masih dikuasai konsepsi waktu yang dibuat berdasarkan konsepsi penanggalan Masehi. Sebuah konsepsi yang tidak sejalan dengan firman Allah:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Al-Imran 190-191).

Mengingat  penanggalan yang kita pakai selama ini menggunakan penanggalan Masehi yang awal harinya  ada di tengah malam dan bukan di awal malam, menggunakan kota Greenwich sebagai  barometernya dan bukan menggunakan  kota Makkah , maka kesemrawudan dan kesimpangsiuran akan terus terjadi, karena menggunakan barometer dan ukuran yang tidak cocok. Sedang dari teks ayat di atas, peralihan waktu itu seharusnya dimulai saat terjadinya peralihan waktu dari siang ke malam maupun malam ke siang. Sehingga baik itu pergantian hari maupun penetapan jam 0-0 seharusnya diletakkan di awal malam (mulai tenggelamnya matahari), bukan di tengah malam seperti yang dikenal di jam Masehi atau jam konvensional.

Untuk itu, sudah saatnya kita mencoba berhijrah dari  yang selama ini menggunakan konsepsi waktu berdasarkan perhitungan jam konvensional (GMT)  berubah menuju penerapan konsepsi jam Hijriah yang digali dari warisan al-Qur’an. Hadits Nabi maupun warisan shalafush sholeh. [Baca;  Konsepsi Jam Hijriah: Aplikasi Konsepsi Waktu Makkah Mean Time (MMT), E. Darmawan Abdullah, Penerbit Pustaka Al-Kautsar, Jakarta  2011].
Manfaat dengan dirumuskannya sistem penanggalan Islam yang berpatokan pada Makkah Main Time (MMT) dan bukan Greenwich Mean Time (GMT), maka penentuan hari, tanggal dan bulan Islam secara internasional bisa dirumuskan bersama, tidak seperti sekarang, di dalam satu Negara bisa berbeda antara perhitungan Muhammadiyah dengan NU, maupun ormas-ormas Islam lainnya dll. Kita sudah mengenal ekonomi syariah,  pidana syariah, bisnis syariah,  pendidikan yang juga sudah disyariahkan. Sekarang giliran sistem konsepsi waktu juga harus disyariahkan pula. Dengan demikian seluruh aktivitas kita dapat berjalan dalam koridor syariah Islam. Hal ini sejalan dengan  Firman Allah di dalam Surat Al-Baqarah ayat 208:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.”
Perlunya Konferensi

Perlu diketahui bersama, dalam penanggalan konvensional (Masehi),  koordinat waktu terletak di kota Greenwich Inggris, sehingga disebut Greenwich Meredien  Time (waktu rata-rata Greenwich/ GMT). Penanggalan  ini dipakai di seluruh dunia internasional, untuk menentukan waktu, dalam urusan navigasi, baik untuk keperluan penerbangan, pelayaran maupun pemetaan posisi perhitungan waktu lainnya.

Karena kedudukan kota Greenwich sebagai pusat waktu rata-rata (pertengahan), walau sebagai pusat koordinat perhitungan,  namun Greenwich bukan dhitung sebagai awal waktu, tetapi pertengahan.
Mengingat urusan hari dan tanggal di sistem konvensional berdasarkan kesepakatan manusia, tepatnya hasil konferensi yang dilakukan oleh 41 negara (satu-satunya Negara Muslim yang ikut hanya Turki)  pada tanggal 1 Oktober 1884 M di Washington DC, Amerika Serikat (AS), maka otomatis ummat Islam suka tidak suka harus mengikuti kesepakatan yang dirumuskan bersama itu.

Jadi prinsipnya awal dan akhir hari dimulai dan diakhiri di Samudra Pasifik yang justru sedikit daratan dan sedikit manusia, walaupun untuk titik koordinatnya ada di kota Greenwich, Inggris.

Dalam sistem penanggalan Hijriah, baik nama hari maupun penetapan awal harinya itu merupakan ketetapan resmi dari Allah Subhanahu Wata’ala. Jika nama-nama hari , Allah yang memberikan nama, maka otomatis ketentuan awal hari harus dikembalikan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, dan bukan hasil konsesus manusia, yang baru disepakati di th 1884 M.
Mengingat hari-hari di dalam syariat Islam adalah sakral karena menyangkut dalam aktivitas ibadah, seperti sholat jum’at maupun puasa senin kamis, yang itu sudah berjalan semenjak jaman Rasulullah SAW. Bisa saja terjadi, akibat adanya konvensi di th 1884 yang ummat Islam diharuskan tunduk mengikutinya, yang dianggap hari jum’at bisa jadi masih hari kamis untuk di wilayah-wilayah tertentu.

Apalagi di dalam system GMT, kedudukan Kota Makkah dihitung +3, sedangkan kota Jakarta i.+7.
Kalau kita pelajari di dalam al-Qur’an dan Hadits, Allah SWT telah memberikan petunjuk dengan jelas bahwa letak awal hari dan tanggal di dalam Islam, itu diletakkan di kota suci Makkah Al-Mukarromah. Jadi kota Makkah lah tempat awal hari itu dimulai, dan bukan Selandia Baru. Hal ini dapat kita baca di dalam QS. Asy-Syuura ayat 7 :
“Demikianlah  Kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (Penduduk Makkah) dan penduduk (negeri-negri) di sekelilingnya serta member peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.”
Dalam ayat di atas, bahwa Makkah disebut Ummul Quro (ibu dari kota yang melahirkan seluruh kota di bumi ini.). Mengapa Makkah disebut Ummul Quro? Hal itu karena wilayah Makkah dan sekitarnya merupakan kota yang pertama ada di dunia ini yang berasal dari  anak-anak keturunan Adam dan Hawa, yang tadinya baru puluhan orang, terus berkembang menjadi kota. Di mana Makkah merupakan awal adanya kehidupan manusia, awal adanya orang beribadah, maka Makkah merupakan  awal pula perhitungan hari dan tanggal.

Dalam sistem penanggalan Islam, kota suci Makkah dihitung sebagai titik koordinat sekaligus sebagai awal hari, awal aktivitas ibadah. Karena kota suci Makkah merupakan kiblat ummat Islam, kota yang mula-mula dibangun untuk ibadah, sehingga sudah sewajarnya kota suci Makkah dipakai sebagai patokan perhitungan waktu  untuk ibadah kepada Allah. Dengan demikian, ketika ada kewajiban sholat Jum’at, maka yang berhak melaksanakan sholat Jum’at lebih dahulu adalah penduduk Makkah dan sekitarnya terus ke Barat  mengikuti arah perjalanan matahari (Mesir, Libia, Turki, Eropa dst), Benua Amerika, Pasifik, Australia, Asia Tenggara, hingga berakhir di sekitar Uni Emirat Arab maupun Persia.
Sedang sistem sekarang, bangsa yang mula-mula melaksanakan sholat Idul Fitri maupun sholat jum’at justru Selandia Baru, yang jauh dari wilayah Makkah. Kita di Jakarta, sholat jum’at  4 jam lebih dulu dibanding di Makkah. Seharusnya kita sholat jum’at 20 jam sesudah orang Makkah melaksanakan sholat Jum’at.

Jika diibaratkan gerbong kereta api, perjalanan waktu di dunia dalam satuan jam dan hari, maka kota suci Makkah berposisi selaku lokomotif kereta api yang menarik gerbong kota-kota dan Negara di dunia, di mana Negara-negara dan kota di wilayah Barat Makkah (Sesuai arah perjalanan matahari) menjadi gerbong-gerbong berikutnya, seperti Mesir, Turki, Libya dst. Jakarta masuk gerbong ke 20, kemudian India dan Persia dan Uni Emirat Arab yang paling akhir. Jadi tidak mungkin Jakarta mendahului Makkah. Itulah sistem yang telah Allah rancang dengan teratur dan terukur.

Kalau sistem penanggalan konvensional (Masehi) merupakan hasil musyawarah masyarakat Kristen (Barat) yang notabene  memang paling digdaya di waktu itu, maka sudah saatnya pula ummat Islam harus mulai merintis sistem  penanggalan islami yang menjadikan kota suci Makkah Al-Mukarromah sebagai pusat dan tolok ukur perhitungan waktu ibadah kaum Muslimin, sebagaimana pernah disampaikan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi  ketika melakukan konferensi ummat Islam se dunia di Doha Qatar yang diadakan pada tahun  1429 H atau 2008 M, di mana beliau mengatakan mendukung agar Makkah dijadikan titik awal perhitungan waktu menggantikan Greenwich, karena Makkah merupakan pusat (poros) bumi. Sekaligus pula penegasan jatidiri keislaman dan wujud kemuliaan ummat Islam atas agama dan peradabannya.  Islam itu unggul dan tidak ada yang bisa mengunggulinya, jadi tidak sepatutnya  ummat Islam mengekor kepada sistem penanggalan ummat non-Muslim.

Sebuah teori, buku tulisan Darmawan Abdullah tentang konsepsi Jam Hijriah, masih perlu diuji lagi kebenarannya. Namun buku ini sungguh mencengangkan. Andaikata benar, berarti selama ini kita sholat jum’at bukan di hari Jum’at namun hari Kamis. Begitu pula yang melakukan puasa senin Kamis, ternyata masih di hari Ahad dan Rabu.  Karena kita tidak mengikuti kota Makkah namun justru mendahului.

Alangkah bagusnya andaikata organisasi-organisasi Islam --baik yang skala Nasional maupun Internasional-- mau menyelenggarakan konferensi maupun seminar membahas soal konsepsi Jam Hijriah ini, sekaligus menguji kebenarannya, sehingga setiap tahun kita sudah tidak disibukkan oleh penentuan kapan jatuhnya Ramadhan, Idul Fitri maupun yang lainnya.

Mudah-mudahan dengan adanya penyatuan waktu di seluruh dunia Islam, maka hati ummat Islam pun akan ikut disatukan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.  Wallahu A’lam.*

Penulis pengamat masalah keislaman, Direktur Pustaka Al-Kautsar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar