Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
(ditulis oleh: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah)
Allah SWT berfirman,
“Orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila
didatangi ‘air’ itu, dia tidak mendapati apa pun. Dan didapatinya
(ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat
perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang
diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi)
awan; gelap gulita yang tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan
tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada
diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya
sedikit pun.” (an-Nur: 39—40)
Allah SWT menyebutkan dua permisalan untuk orang-orang kafir, permisalan
fatamorgana dan permisalan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Ini karena
orang-orang yang berpaling dari petunjuk dan kebenaran itu ada dua
macam. Salah satunya adalah seseorang yang mengira bahwa dirinya di atas
suatu kebenaran, lalu menjadi jelas baginya saat terbukti hakikatnya
berbeda dengan apa yang dia kira. Inilah kondisi orang-orang yang bodoh
dan kondisi para pengikut bid’ah. Mereka mengira bahwa mereka berada di
atas petunjuk dan ilmu. Ketika hakikatnya tersingkap, menjadi jelas bagi
mereka bahwa ternyata mereka tidak berada di atas petunjuk. Mereka juga
tahu, keyakinan dan amal mereka yang berasal dari ilmu mereka, hanya
fatamorgana yang berada di tanah datar, yang terlihat oleh mata yang
memandangnya sebagai air padahal tiada nyatanya.
Demikian pula amalan-amalan yang bukan karena Allah SWT dan tidak
berlandaskan perintah-Nya. Si pelaku menyangkanya bermanfaat baginya,
padahal tidak demikian. Amalan inilah yang dikatakan oleh Allah SWT,
“Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)
Coba perhatikan, bagaimana Allah SWT menjadikan fatamorgana itu di atas
tanah yang datar lagi kosong, tidak ada bangunan, pepohonan, dan
tumbuhan. Di situlah tempat terjadinya fatamorgana: tanah yang kosong,
tidak ada sesuatu. Memang, fatamorgana itu sesuatu yang tidak ada
nyatanya. Permisalan ini sesuai dengan amalan dan kalbu mereka yang
kosong dari iman dan hidayah.
Perhatikanlah firman-Nya,
“Orang yang dahaga menyangkanya air….”
Artinya, ketika orang yang sangat dahaga melihat fatamorgana, mengiranya
sebagai air sehingga ia mengejarnya. Tetapi, ternyata ia tidak
mendapatkan apa-apa. Fatamorgana itu menipunya di saat ia sangat
membutuhkan air. Demikian juga keadaan mereka. Ketika amal mereka bukan
karena taat kepada Rasul n dan bukan karena Allah SWT, amal mereka
dijadikan laksana fatamorgana. Amalan itu akan ditampakkan kepada mereka
saat mereka sangat kehausan dan sangat membutuhkannya, namun mereka
tidak mendapatkan apa-apa. Mereka justru mendapati Allah SWT yang akan
membalasi amal mereka dan akan memenuhi hisab mereka.
Dalam sebuah hadits tentang hari kiamat dalam kitab ash-Shahih, dari hadits sahabat Abu Sa’id al-Khudri z, dari Nabi SAW,
“Lalu didatangkan Jahannam dan ditampakkan laksana fatamorgana.
Dikatakan kepada Yahudi, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka mengatakan
‘Kami dahulu menyembah Uzair, putra Allah.’ Lantas dikatakan kepada
mereka, ‘Kalian berdusta. Allah tidak memiliki istri dan anak, lantas
apa yang kalian maukan sekarang?’ Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan
Engkau beri kami minum.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya
mereka berjatuhan di Jahannam. Kemudian dikatakan kepada orang-orang
Nasrani, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka menjawab, ‘Kami menyembah
al-Masih, putra Allah.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Kalian dusta. Allah
SWT tidak memiliki istri atau anak, lantas apa yang kalian inginkan?’
Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan Engkau memberi kami minum.’
Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya mereka berjatuhan….”
Inilah kondisi setiap pelaku kebatilan. “Kebaikan” mereka akan
mengkhianati mereka saat mereka sangat membutuhkannya, karena kebatilan
itu tidak ada nyatanya. Sama dengan namanya, batil (yang dalam bahasa
Arab berarti ‘sesuatu yang akan lenyap’), jika sebuah keyakinan tidak
sesuai dengan (tuntunan) dan tidak benar, yang terkait dengannya juga
batil.
Demikian pula jika tujuan sebuah amalan itu batil, seperti beramal
karena selain Allah SWT atau tidak di atas perintah-Nya, amalnya batil
dengan sebab kebatilan tujuannya. Pelakunya akan merasa celaka karena
sia-sianya amal tersebut. Ia justru akan mendapatkan kebalikan dari apa
yang dia angan-angankan… Ia tersiksa dengan lenyapnya manfaat amalannya
dan perolehan yang sebaliknya. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman,
“Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan
kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat
cepat perhitungan-Nya.” (an-Nur: 39)
Inilah permisalan seseorang yang dia mengira dirinya berada di atas petunjuk.
Macam yang kedua, adalah pemilik permisalan kegelapan yang
bertumpuk-tumpuk. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran
dan petunjuk, namun lebih mengutamakan kegelapan kebatilan dan kesesatan
daripada kebenaran tersebut. Akhirnya, menumpuklah kegelapan tabiatnya,
kegelapan jiwanya, kegelapan kebodohannya, dan kegelapan kesesatan
serta hawa nafsu, yang mereka tidak mengamalkan ilmu mereka sehingga
mereka menjadi bodoh.
Keadaan mereka laksana seseorang yang berada di lautan yang dalam lagi
tidak bertepi, sementara itu ombak meliputinya. Di atas ombak itu ada
ombak lagi. Di atasnya lagi ada awan yang gelap. Jadilah ia berada di
kegelapan lautan, kegelapan ombak, dan kegelapan awan. Ini seperti
kegelapan yang ia berada padanya. Kegelapan yang Allah SWT tidak
mengeluarkannya darinya menuju cahaya iman.
Dua permisalan ini, permisalan fatamorgana yang dia kira sumber
kehidupan, yaitu air, dan permisalan kegelapan-kegelapan yang berlawanan
dengan cahaya, mirip dengan permisalan orang-orang munafik dan
orang-orang mukmin, yaitu permisalan air dan api. Allah SWT menjadikan
bagian bagi mukminin dari keduanya adalah kehidupan dan cahayanya,
sedangkan bagian untuk munafik adalah kegelapan yang merupakan lawan
dari cahaya dan kematian yang merupakan lawan dari kehidupan.
Demikian juga orang-orang kafir dalam dua permisalan ini. Bagian mereka
hanyalah fatamorgana yang menipu orang yang melihatnya—sesuatu yang
tidak ada kenyataannya—dan bagian mereka adalah kegelapan-kegelapan yang
berlapis-lapis.
Bisa jadi, maksud ayat ini adalah keadaan salah satu dari
kelompok-kelompok orang kafir. Mereka kehilangan sumber kehidupan dan
cahaya karena mereka berpaling dari wahyu. Oleh karena itu, dua
permisalan ini adalah untuk satu golongan.
Namun, bisa jadi pula, maksudnya adalah macam-macam keadaan orang kafir.
Permisalan pertama adalah mereka yang beramal tanpa ilmu, hanya dengan
kebodohan dan baik sangka terhadap para pendahulu (nenek moyangnya).
Mereka mengira telah berbuat baik. Adapun permisalan kedua adalah bagi
yang lebih menyukai kesesatan daripada petunjuk dan mendahulukan yang
batil daripada yang haq. Mereka buta padahal sebelumnya melihatnya.
Mereka pun mengingkari padahal sebelumnya mengetahui. Inilah keadaan
orang-orang yang dimurkai. Adapun yang pertama adalah keadaan
orang-orang yang sesat.
(diterjemahkan dan disusun dari beberapa buku Ibnul Qayyim, oleh Qomar Suaidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar