Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
Segala puji bagi Allah atas berbagai macam nikmat yang Allah berikan.
Shalawat dan salam atas suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada keluarganya dan para pengikutnya.
Para pembaca -yang semoga dimudahkan Allah untuk melakukan ketaatan-.
Perlu diketahui bahwa sepertiga terakhir bulan Ramadhan adalah saat-saat
yang penuh dengan kebaikan dan keutamaan serta pahala yang melimpah. Di
dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Oleh karena
itu suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dahulu bersungguh-sungguh untuk menghidupkan sepuluh hari terakhir
tersebut dengan berbagai amalan melebihi waktu-waktu lainnya.
Sebagaimana istri beliau -Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha- berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh
pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan
beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim)
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari
terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk
menjauhi para istri beliau dari berjima’, pen), menghidupkan malam-malam
tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Maka perhatikanlah apa yang dilakukan oleh suri tauladan kita! Lihatlah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah malah mengisi hari-hari
terakir Ramadhan dengan berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan untuk
persiapan lebaran (hari raya). Yang beliau lakukan adalah
bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah seperti shalat, membaca Al
Qur’an, dzikir, sedekah dan lain sebagainya. Renungkanlah hal ini!
Keutamaan Lailatul Qadar
Saudaraku, pada sepertiga terakhir dari bulan yang penuh berkah ini
terdapat malam Lailatul Qadar, suatu malam yang dimuliakan oleh Allah
melebihi malam-malam lainnya. Di antara kemuliaan malam tersebut adalah
Allah mensifatinya dengan malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala
berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang
diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam
itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 3-4)
Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar
sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar [97]: 1)
Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ
الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
(4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar.” (QS. Al Qadar [97] : 3-5)
Catatan: Perhatikanlah bahwa malam keberkahan tersebut adalah lailatul
qadar. Dan Al Qur’an turun pada bulan Ramadhan sebagaimana firman Allah
Ta’ala,
شَهْرُ رَمَضَانَ الذي أُنْزِلَ فِيهِ القرآن
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)
Maka sungguh sangat keliru yang beranggapan bahwasanya Al Qur’an itu
turun pada pertengahan bulan Sya’ban atau pada 17 Ramadhan lalu
diperingati dengan hari NUZULUL QUR’AN. Padahal Al Qur’an itu turun pada
lailatul qadar. Dan lailatul qadar -sebagaimana pada penjelasan
selanjutnya- terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Renungkanlah hal ini!
Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi ?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan
daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu
lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ –
فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ
الْبَوَاقِى
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia
ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang
tersisa.” (HR. Muslim)
Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh
tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu.
Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada
sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar
itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya
berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu
terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang
berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan
hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ
الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ
تَبْقَى
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari)
Catatan: Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan
tentang terjadinya malam lailatul qadar di antaranya adalah agar
terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam
tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin
mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal
ini juga sebagai rahmat Allah agar hamba memperbanyak amalan pada
hari-hari tersebut dengan demikian mereka akan semakin bertambah dekat
dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak. Semoga Allah
memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan ini. Amin Ya
Sami’ad Da’awat.
Do’a di Malam Lailatul Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar,
lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita -Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari
Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ
لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ
عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى »
“Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku
mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di
dalamnya?” Beliau menjawab, “Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni’ (artinya ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shohihah)
Tanda Malam Lailatul Qadar
[1] Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak
begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar
lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh/terpercaya)
[2] Malaikat menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan
tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan
pada hari-hari yang lain.
[3] Manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
[4] Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak
ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya, “
Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/149-150)
I’tikaf dan Pensyari’atannya
Dalam sepuluh hari terakhir ini, kaum muslimin dianjurkan (disunnahkan)
untuk melakukan i’tikaf. Sebagaimana Abu Hurairah mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada setiap
Ramadhan selama 10 hari dan pada akhir hayat, beliau melakukan i’tikaf
selama 20 hari. (HR. Bukhari)
Lalu apa yang dimaksud dengan i’tikaf? Dalam kitab Lisanul Arab, i’tikaf
bermakna merutinkan (menjaga) sesuatu. Sehingga orang yang mengharuskan
dirinya untuk berdiam di masjid dan mengerjakan ibadah di dalamya
disebut mu’takifun atau ‘akifun. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/150)
Dan paling utama adalah beri’tikaf pada hari terakhir di bulan Ramadhan.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai
Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau. (HR. Bukhari & Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah beri’tikaf di 10 hari
terakhir dari bulan Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di
bulan Ramadhan. (HR. Bukhari & Muslim)
I’tikaf Harus di Masjid dan Boleh di Masjid Mana Saja
I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah [2]: 187)
Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah
di rumah sama sekali.
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena
keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf
dalam masjid”.
Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan,
“Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid”, hadits ini masih dipersilisihkan apakah statusnya marfu’ atau mauquf. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151)
Wanita Juga Boleh Beri’tikaf
Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri tercinta beliau untuk
beri’tikaf. (HR. Bukhari & Muslim)
Namun wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat: [1]
Diizinkan oleh suami dan [2] Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi
laki-laki). (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151-152)
Waktu Minimal Lamanya I’tikaf
I’tikaf tidak disyaratkan dengan puasa. Karena Umar pernah berkata
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, aku dulu
pernah bernazar di masa jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil
Haram?” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tunaikan
nadzarmu.” Kemudian Umar beri’tikaf semalam. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan jika beri’tikaf pada malam hari, tentu tidak puasa. Jadi puasa
bukanlah syarat untuk i’tikaf. Maka dari hadits ini boleh bagi seseorang
beri’tikaf hanya semalam, wallahu a’lam.
Yang Membatalkan I’tikaf
Beberapa hal yang membatalkan i’tikaf adalah: [1] Keluar dari masjid
tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak
(misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa dilakukan di
luar masjid), [2] Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al
Baqarah: 187 di atas. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/155-156)
Perbanyaklah dan sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan tatkala
beri’tikaf seperti berdo’a, dzikir, dan membaca Al Qur’an. Semoga Allah
memudahkan kita untuk mengisi hari-hari kita di bulan Ramadhan dengan
amalan sholih yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Sumber Rujukan:
Shohih Fiqh Sunnah II
Majalis Syahri Ramadhan
Adwa’ul Bayan
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Abu Sa’ad, M.A.
Artikel www.muslim.or.id