REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr Yunahar Ilyas
Perang yang melelahkan itu sudah usai. Pasukan kecil mampu mengalahkan pasukan besar. Pasukan kafir dari Makkah yang dipimpin Abu Jahal kembali dengan kepala tertunduk dan penuh rasa malu, sementara kaum Muslimin kembali ke Madinah dengan penuh rasa syukur. Madinah menyambut mereka dengan gembira, kecuali Yahudi dan kaum musyrikin, termasuk orang-orang munafik, mereka sangat terpukul. Tadinya mereka berharap, Muhammad tewas dan pasukan Islam dihancurkan.
Kaum Muslimin pulang di samping membawa rampasan perang juga membawa lebih kurang 50 orang tawanan. Nabi Muhammad SAW belum memutuskan tawanan itu akan dibagaimanakan. Dalam keadaan seperti itu, Abu Bakar RA datang memberikan saran agar Nabi bermurah hati membebaskan tawanan dengan tebusan. Namun, Nabi diam dan tidak menjawab saran Abu Bakar.
Lalu, Umar datang menemui Nabi dan memberikan pendapatnya pula. Umar RA dengan tegas menyarankan agar semua tawanan dihukum mati karena mereka adalah musuh-musuh Allah. Mereka telah memerangi Nabi dan kaum Muslimin. Akan tetapi, Nabi pun tidak menjawab usulan Umar. Beliau masuk ke dalam kamarnya.
Kaum Muslimin terbelah dua. Sebagian mendukung pendapat Abu Bakar dan yang lain mendukung usulan Umar. Jika Nabi salah mengelola perbedaan pendapat yang tajam dari dua orang terdekat ini, tentu akan terjadi perpecahan.
Nabi kemudian keluar menemui kaum Muslimin untuk menyampaikan keputusannya. Mula-mula Nabi memuji Abu Bakar. “Ibarat malaikat, Abu Bakar itu seperti Mikail yang diturunkan Allah membawa sifat pemaaf kepada hamba-Nya. Kalau Nabi, Abu Bakar seperti Ibrahim yang berkata, ‘Barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” Kaum Muslimin yang mendukung pendapat Abu Bakar senang.
Kemudian, Nabi memuji Umar. “Ibarat malaikat, Umar itu seperti Jibril diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap musuh-musuh. Kalau Nabi, Umar itu seperti Nuh yang mengatakan, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.’” Para pendukung pendapat Umar juga senang.
Abu Bakar dan Umar senang Nabi tidak menyalahkan pendapat mereka. Sahabat-sahabat lain juga senang, baik yang pro-Abu Bakar maupun Umar. Tetapi, tugas pemimpin tidak hanya membuat pengikutnya senang tanpa ada keputusan. Bagaimanapun Nabi harus memilih salah satu dari dua pendapat itu. Maka, Nabi memilih pendapat Abu Bakar walaupun kemudian pilihan itu ditegur oleh Allah SWT.
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tatkala pendapatnya tidak dipilih Nabi, Umar rida. Dan tatkala pendapat Umar dibenarkan Allah, Umar tidak menepuk dada, apalagi sampai menyalahkan Nabi. Pemimpin yang bijaksana juga akan melahirkan umat yang bijaksana.
Perang yang melelahkan itu sudah usai. Pasukan kecil mampu mengalahkan pasukan besar. Pasukan kafir dari Makkah yang dipimpin Abu Jahal kembali dengan kepala tertunduk dan penuh rasa malu, sementara kaum Muslimin kembali ke Madinah dengan penuh rasa syukur. Madinah menyambut mereka dengan gembira, kecuali Yahudi dan kaum musyrikin, termasuk orang-orang munafik, mereka sangat terpukul. Tadinya mereka berharap, Muhammad tewas dan pasukan Islam dihancurkan.
Kaum Muslimin pulang di samping membawa rampasan perang juga membawa lebih kurang 50 orang tawanan. Nabi Muhammad SAW belum memutuskan tawanan itu akan dibagaimanakan. Dalam keadaan seperti itu, Abu Bakar RA datang memberikan saran agar Nabi bermurah hati membebaskan tawanan dengan tebusan. Namun, Nabi diam dan tidak menjawab saran Abu Bakar.
Lalu, Umar datang menemui Nabi dan memberikan pendapatnya pula. Umar RA dengan tegas menyarankan agar semua tawanan dihukum mati karena mereka adalah musuh-musuh Allah. Mereka telah memerangi Nabi dan kaum Muslimin. Akan tetapi, Nabi pun tidak menjawab usulan Umar. Beliau masuk ke dalam kamarnya.
Kaum Muslimin terbelah dua. Sebagian mendukung pendapat Abu Bakar dan yang lain mendukung usulan Umar. Jika Nabi salah mengelola perbedaan pendapat yang tajam dari dua orang terdekat ini, tentu akan terjadi perpecahan.
Nabi kemudian keluar menemui kaum Muslimin untuk menyampaikan keputusannya. Mula-mula Nabi memuji Abu Bakar. “Ibarat malaikat, Abu Bakar itu seperti Mikail yang diturunkan Allah membawa sifat pemaaf kepada hamba-Nya. Kalau Nabi, Abu Bakar seperti Ibrahim yang berkata, ‘Barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” Kaum Muslimin yang mendukung pendapat Abu Bakar senang.
Kemudian, Nabi memuji Umar. “Ibarat malaikat, Umar itu seperti Jibril diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap musuh-musuh. Kalau Nabi, Umar itu seperti Nuh yang mengatakan, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.’” Para pendukung pendapat Umar juga senang.
Abu Bakar dan Umar senang Nabi tidak menyalahkan pendapat mereka. Sahabat-sahabat lain juga senang, baik yang pro-Abu Bakar maupun Umar. Tetapi, tugas pemimpin tidak hanya membuat pengikutnya senang tanpa ada keputusan. Bagaimanapun Nabi harus memilih salah satu dari dua pendapat itu. Maka, Nabi memilih pendapat Abu Bakar walaupun kemudian pilihan itu ditegur oleh Allah SWT.
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tatkala pendapatnya tidak dipilih Nabi, Umar rida. Dan tatkala pendapat Umar dibenarkan Allah, Umar tidak menepuk dada, apalagi sampai menyalahkan Nabi. Pemimpin yang bijaksana juga akan melahirkan umat yang bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar